UA-80997737-1

Friday, June 24, 2016

Sejarah Bahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia dalam Berbagai Ragamnya - History of Indonesian and Indonesian hearts various manifold



Sejarah Bahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia dalam Berbagai Ragamnya

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Keilmuan
Dosen Pembimbing : Drs. Ahmad Riyadi. S.S., M.HUM
Kelompok 1
Di Susun Oleh:
Hamdani
Khusin
Muhammad Bahrudin
Muhammad Purna Irawan
Ridho Ashadi

JURUSAN TARBIYAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 3
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA
2012



SEJARAH BAHASA INDONESIA

Sejarah setelah memberikan kepada kita, bahwa bangsa indonesia menggunakan satu bahasa persatuan yaitu bahasa indonesia, karena terpilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa-bahasa persatuan kita dengan nama baru Bahasa Indonesia. Peristiwa itu terjadi menurut perputaran roda sejarah, Sampai pada hari sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928, saat diikrarkannya satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang semuanya dengan nama indonesia, sejarah perkembangan bahasa Melayu berjalan dengan mulus.
Sesudah pertengahan abad ke-19, Gubernur Jenderal Rochussen melihat bahwa bahasa Melayu digunakan orang di mana-mana sebagai bahasa penghubung. Oleh karena itu kemudian pemerintah Belanda menetapkan bahwa bahasa melayu hendaklah dijadikan bahasa pengantar di sekolah-sekolah melayu untuk memperoleh tenaga-tenaga administrasi yang murah dalam pemerintahan.Tindakan yang di ambil oleh pemerintah Belanda itu tanpa mereka sadari telah menguntungkan bagi perkembangan bahasa Melayu kelak,cikal-bakal bahasa indonesia,yang akan menjadi bahasa nasional dan bahasa pemersatu bagi seluruh penduduk yang mendiami wilayah Hindia Belanda, wilayah yang kemudian dituntut oleh bangsa indonesia menjadi wilayah Republik Indonesia.1
            Penyelidikan kepurbakalaan didaerah Sumatera Selatan telah dapat menemukan beberapa piagam yang berisi catatan-catatan yang bernilai kesejarahan yang menggunakan media bahasa. Aktualisasi bahasa dalam piagam-piagam ini menggunakan pola struktur bahasa yang boleh dikatakan sama dengan pola struktur BM,disamping keadaan yang ada dalam kosa kata dan sebagainya (G.Coedes),1930 : J.G. de casparis,1956: M.G Emeis,1952 : H.Kahler,1956:A.Teuw, 1959).
Tapi disamping persamaan yang ada juga ada beberapa hal yang berbeda,yang mungkin tidak ada lagi dalam BM. Karena itu ia tak begitu saja dapat dinamakan BM, tapi diberi nama Bahasa Melayu Kuno (BMKN). Penamaan ini dilakukan dengan dijalan analogi yang ada pada bahasa jawa, yaitu penamaan Bahasa Jawa Kuno untuk bahasa Jawa yang berasal dari zaman yang lebih tua, yang sudah berbeda dengan bahasa jawa sekarang. Penamaan aktualisasi bahasa ini sebagai aktualisasi BMKN dapat diterima banyak hal-hal yang dapat membenarkan ini yaitu:
a)      Pola struktur bahasa dari aktualisasi bahasa itu dekat dengan pola struktur BM, meskipun banyak sarjana bahasa meragukan pola struktur bahasa.
b)      Kosakata dasarnya yang ada menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara bahasa yang digunakan dalam piagam itu dengan BM.
c)      Aktualisasi bahasa itu berasal dari zaman yang lebih tua dari zaman sekarang, yaitu dari abad ke 7 masehi, sehingga dapat dinamakan sebagai BMKN ini merupakan asal yang langsung dari BM yang kemudian juga ada yang menjadi B.I.
BI secara resmi dimulai sejarahnya pada tanggal 28-10-1928, meskipun ia sebelum itu telah ada. Ia dapat dianggap sebagai sambungan yang tidak langsung dari BM, karena ada kalanya keduanya sama-sama digunakan, karena keduanya mempunyai dua lapangan pemakaian yang berbeda. BM digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintahan dijajahan Hindia Belanda untuk keperluan kelangsungan penjajahan tentunya sebaliknya BI hidup diluar lingkungan administrasi Belanda itu, bahkan boleh dikatakan untuk menghilangkannya dalam usaha mereka untuk mewujudkan didapatnya kembali kemerdekaan indonesia yang telah dirampas belanda beberapa pada abad yang lalu.
BM adalah bahasa yang rendah kedudukannya dibandingkan dengan bahasa Belanda. Ia hanya digunakan sebagai bahasa pengantar pada beberapa sekolah rendah yang disediakan bagi penduduk pribumi, yaitu sekolah yang biasanya disebut dengan nama sekolah angka dua di jawa ataupun sekolah gupernemen. Pada sekolah-sekolah desa yaitu sekolah yang terdiri dari tiga tahun yang ada dibawah sekolah angka tadi digunakan bahasa nusantara yang lain.
Disini terlihat bagaimana pendeknya pendidikan BM itu, yaitu hanya 2 tahun saja.Disamping itu juga dapat dikatakan bahwa BM telah mendapat tantangan pertama dari bahasa nusantara yaitu dengan digunakannya bahasa nusantara yang lain pada sekolah-sekolah desa, yang memakan waktu lebih dari separo dari masa pendidikan yang rata-rata mungkin dapat dicapai oleh sebagian terbesar rakyat Indonesia (Dan ini tentu saja adalah politik dari pemerintahan Hindia Belanda). Dan hal ini ditambah lagi dengan suasana bahasa dari tiap murid tadi, yang justru bahasa rumah tangganya adalah salah satu dari bahasa nusantara tadi. Karena itu dapat di pajangkan bagaimana ketelitian hasil yang dapat dicapai dengan cara ini, sehingga tidak mengherankan bila BM hanya dikenal oleh sekelompok kecil saja dari penduduk Indonesia yang dapat tulis baca. Keadaan ini mungkin disesuaikan dengan politik pemerintah belanda yang mengusahakan supaya kesatuan indonesia yang antara lain dengan sebuah bahasa sebagai alatnya, jangan sampai terjadi hendaknya. Disamping itu hal ini juga didampingi dengan usaha untuk menghilangkan Indonesia sebagai suatu kesatuan kebudayaan, sebagai yang akan dapat terlihat pada uraian selanjutnya ini.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dikenal dua atau lebih sistem sekolah, yang dapat disebutkan sebagai sistem sekolah berbahasa Belanda dan yang tidak berbahasa Belanda. Orang yang berbahasa Belanda dapat dimasukkan HIS, HCS, ELS dan lain-lain sebagainya. Dalam sekolah-sekolah ini sejak dari kecil dididik berbahasa belanda, sehingga yang belajar disana boleh dikatakan tak mengenal BM, atau hanya beranggapan bahwa bahasa itu hanya baik untuk berhubungan dengan orang-orang yang tak bersekolah BM bagi mereka hanya sebuah tempelan belaka. Dan keadaan merupakan tantangan kedua bagi penyebaran BM ketika itu. Ketika itu tantangan ditambah lagi dengan adanya ide-ide dari petugas pemerintahan dijajahan Hindia Belanda untuk menghilangkan pemakaian BM sebagai bahasa pengantar pada sekolah-sekolah angka dua da diganti dengan bahasa Belanda, sebagai yang pernah dianjurkan oleh G.J.Nieuwenhuis(Slametmuljana,1959, 7). Untung saja hal ini tidak terjadi langsung, karena adanya tantangan dari setengah orang Belanda, yang merasa ini sebagai pemborosan uang yang tak ada gunanya.
Begitulah keadaan perkembangan dan penyebaran BM dengan datangnya jepang,yang  sama sekali tidak mempunyai perspektif yang menguntungkan. Pelarangan pemakaian bahasa Belanda dan tidak dikenalnya bahasa jepang,menjelaskan BM atau yang bersamaan dengan itu terus digunakan jepangnya. Dualisme dalam sistem sekolah hilang, sehinngga terbuka kemungkinan perkembangan bagi BM atau yang bersamaan dngannya. Hal ini ditolong lagi dengan masa jepang yang pendek sehingga ia tak sempat untuk memaksakan bahasa jepang menggantikan BM sebagai yang di-idam-idamkan. (Slametmuljana,1959,10-11)
 Begitulah dengan kedatangan BM menjadi lebih dikenal di mana-mana, terutama ialah hubungan propaganda jepang. Keadaan begini terus berlangsung dengan tidak ada perubahan yang berarti sampai dengan proklamasi Indonesia pada 17-8-1945 yang berarti habisnya dualisme BI dan BM secara sempurna.[1] BI sampai dengan tahun 1945 boleh dikatakan tidak mengalami perubahan pemakaian yang serius. Hanya sesudah 1945 ada perubahan yang penting. Karena itu dalam hubungan pembicaraan ini akan dibicarakannya lebih dulu sejarah BI sebelum 1945.
 Sebagai telah dikatakan pada 1.220. Maka pada masa ini tidak ada perubahan yang penting mengenai BI. BI masih tetap bergerak diluar organisasi pemerintahan di jajahan Hindia Belanda, dan merupakan alat untuk mencapai kesatuan Indonesia dalam mendapatkan kembali kemerdekaannya. Karena itu lapangan pemakaian BI masih tetap terbatas kepada pemakaian bahasa yang mempunyai hubungan dengan gerakan kebangsaan dan sebagai bahasa pers dan bahasa sastra. Kedua lapangan ini mempunyai lapangan pengaruh yang berbeda.
 Disamping berbagai hasil sastra perjuangan yang terutama di hubungkan dengan pribadi-pribadi belaka dan bukan suatu gerakan dari suatu kelompok, ada suatu kelompok yang perlu diperhatikan dalam hubungan ini. Kelompok itu adalah apa yang biasa dinamakan sebagai Angkatan 33 atau juga dinamakan Angkatan pujangga Baru.
Dengan diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 maka sejak itu BI dengan sendirinya telah merupakan suatu bahasa resmi. Hal ini dibuktikan dengan kehormatan yang diberikan kepada BI sebagai bahasa yang digunakan dalam naskah asli proklamasi 1945 yang bersejarah itu. Dengan begitu mulailah sejarah BI sebagai bahasa resmi pada zaman baru.
Sejak itu terus menerus BI bertindak sebagai bahasa resmi. Ia digunakan dalam pengumuman resmi negara, dalam sidang-sidang negara dalam pesta-pesta negara. Selanjutnya ia juga digunakan oleh organisasi-organisasi yang bergerak dalam hubungan dengan bangsa Indonesia baik bersifat politik kebudayaan maupun sosial.
Hanya saja pada beberapa daerah di Indonesia ini terputus buat sementara karena daerah-daerah itu buat sementara dapat lagi dikuasai Belanda. Tapi ini hanya berlaku dalam batas-batas tertentu belaka. Bila misalnya daerah R.I di jawa dan Sumatera. Fungsi BI sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan sebenarnya juga merupakan salah satu dari fungsi BI sebagai bahasa resmi, Cuma saja disini sedikit dibedakan. Fungsi BI sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan  yang nanti akan menjurus kedalam bahasa ilmu, tidaklah dapat dipisahkan dari BI yang berfungsi sebagai pendukung kebudayaan, terutama sastra karena itu dalam hubungan pembicaraan ini keduanya itu akan dibicarakan sekaligus yaitu dalam satu bagian yang sama.
BI dalam bentuk BM atau BMKN sebagai bahasa yang digunakan dalam tugas sebagai bahasa pengantar pada tingkat sekolah-sekolah elementer telah lama ada. Pengajaran elementer bagi agama Budha pada zaman Sriwidjaja dilakukan dengan menggunakan semacam BM yang diberi nama BMKN sebagai bahasa pengantarnya. Begitu juga pengajaran elementer agama islam dilakukan dengan menggunakan BM.Hal ini diteruskan akhirnya oleh pemerintahan dijajahan Hindia Belannda.BM mereka gunakan bagai bahasa pengantar pada sekolah-sekolah elementer yang kusus bagi penduduk bumiputra yang tidak mampu.Keadaan ini agak berubah sedikit pada zaman jepang,yaitu BM dan BI telah mulai digunakan makan sebagai bahasa pengantar pada beberapa sekolah lanjutan tapi serentak dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia terbukalah pintu yang lebih luas bagi pemakaian BI untuk digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah,bahkan bukan dalam tingkat elementer atau pertengahan saja, bahkan juga pada level yang tertinggi yaitu perguruan tinggi.Begitulah dengan didirikannya Balai Perguruan Tinggi R.I. Maka digunakanlah dalam perguruan-perguruan tinggi BI sebagai pengantar.
Keadaan ini terus berlangsung menuju kesesempurnaannya,bahkan melewati waktu sesudah 1950, yang merupakan masa yang agak berbahaya bagi BI dalam lapangan pendidikan, karena menerima warisan dari pemerintahan dijajahan Hindia Belanda dalam bentuk baru, yaitu berbagai sekolah lanjutan dan tinggi yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya, misalnya universiteit van indonesia.
 Sangatlah tepat  tindakan yang dijalankan menteri PPK Republik Indonesia Serikat ketika itu, yaitu Dr.Abu Hanifah dalam menghadapi kegigihan para professor Belanda untuk tetap menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pada Universitas Indonesia yang dulunya bernama Universite Van Indonesia itu. Dan tindakan menteri PPK itu, yang telah meniadakan pemakaian Bahasa belanda sebagai bahasa pengantar pada Universitas Indonesia sekarang, tidaklah menimbulkan kemunduran ilmu sebagai yang di-dengung-dengungkan oleh para profesor Belanda ketika itu. Dan sebaliknya tindakan ini menguntungkan sekali bagi BI, yaitu terbukanya pintu untuk berkembang sebagai bahasa ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya.
 Penggunaan suatu bahasa sebagai bahasa pengantar pada sekolah-sekolah menghendaki juga persediaan buku-buku dalam bahasa itu untuk tiap-tiap sekolah yang ada. Begitu misalnya pada waktu dizaman penduduk jepang, dengan digunakannya BI sebagai bahasa pengantar pada berbagai sekolah lanjutan, mulailah disediakan berbagai buku pelajaran dalam BI, dengan jalan menterjemahkannya dari Bahasa Belanda. Begitu jugalah keadaanya dengan menggunakan BI sebagai bahasa pengantar diperguruan tinggi, yang mau tak mau pula menghendaki buku-buku pengantar dalam BI. Begitulah sejak BI mulai digunakan secara intensif diperguruan tinggi sebagai bahasa pengantar, mulai pulalah disediakan buku-buku untuk tingkat itu dengan menggunakan BI. Mula-mula buku itu bersifat diktat kuliah yang dikeluarkan secara stensil dan lambat taun berubah menjadi buku yang dicetak. Disamping itu mulai pulalah dikarangkan buku-buku ilmiah kusus yang tidak berhubungan secara langsung dengan kuliah, juga di dalam penerbitan ini tidaklah boleh dilupakan beberapa karangan kecil dan besar yang disiapkan bagi keperluan suatu ujian perguruan tinggi yang biasanya juga dikerjakan dalam BI. Dengan begitu mulailah tradisi ilmiah yang lebih luas bagi BI. Dan di dalam hal ini masih dapat ditambahkan penerbitan majalah-majalah ilmiah kusus dan juga bahasa yang digunakan pada berbagai pertemuan ilmu pengetahuan nasional, terutama dalam hubungan ini perlu dicatat kongres ilmu Pengetahuan Nasional yang yang telah dua kali diadakan yaitu di Malang pada tahun 1958 dan di Jogjakarta pada 1962.
Sehubungan tidaklah dapat dilupakan kedudukan BI sebagai bahasa sastra, yang yang telah pula dimiliki oleh BM yang mempunyai hubungan yang erat dengan BI. Dan sejak 1945 perkembangan BI sebagai bahasa tidak sastra tidak kalah pesat majunya dibandingkan dengan berbagai lapangan lainnya. Berbagai karangan sastra telah diterbitkan baik berupa karngan-karangan panjang dalam sebuah buku tersendiri maupun berupa karangan-karangan pendek yang berserakan diberbagai majalah yang ada. Disamping itu BI dengan intensif telah digunakan sebagai alat untuk memperkenalkan sebagai  hasil sastra luar negeri yang dianggap bermutu. Dan mulai saat ini hasil sastra Indonesai telah merupakan sebuah mata rantai dalam gabungan mata rantai hasil sastra yang ada didunia. Hasil sastra Indonesia telah menjadi objek pembicaraan diluar indonesia, dan juga telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa yang ada. Begitulah perkembangan BI sebagi bahasa ilmu dan sastra.     
            Pembedaan bahasa Melayu Tinggi dan bahasa Melayu Rendah serta bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Pasar tidak sesuai dengan keadaan bahasa Melayu sebenarnya. Hal yang baik ialah pembedaan bahasa Melayu perhubungan, Hubungan antara ketiganya belum jelas benar. Sejarah timbulnya dan bagaimana tumbuhnya Bahasa Melayu belum kita ketahui betul pada waktu ini. Sebelum VOC datang kesini bahasa Melayu perhubungan sudah berkembang ke mana-mana di Indonessia ini. Pada zaman itu pun bahasa itu sudah bersifat bahasa indonesia.
Kebudayaan ialah wujud sukma manusia dalam keadaan. Bahasa Melayu perhubungan itu bisa di sebut bahasa kebudayaan sementara.karena pengaruh-pengaruh barat dan karena keinginan akan masyarakat baru, di Indonesia terjadi perubahan bentuk masyarakat, pandangan hidup, dan semangat. Orang dengan sadar menumbuhkan bahasa Indonesia dalam lapangan yang sudah disediakan oleh bahasa Melayu perhubungan. Bahasa indonesia ialah bahasa Melayu perhubungan yang diperkaya dengan zat-zat dari Melayu Kesusastraan, bahasa Jawa, bahasa Belanda dan dengan lebih kurang bahasa Austronesia yang lain-lain, sedangkan perubahan saraf banyak terjadi dan begitu pula perubahan tinggi bunyi dan tekanan.
Bahasa Indonesia sudah jadi Bahasa Kebudayaan dan akan tumbuh dengan kebudayaan Indonesia. Sungguh rakyat Indonesia itu hingga sekarang terbukti bahwa seluruh rakyat yang saling berhubungan mau mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (Meskipun bahasa Jawa dalam arti “kebudayaan” ada lebih berharga daripada bahasa Melayu akan tetapi sebagai bahasa perantara buat seluruh Indonesia tidak dapat mengalahkan bahasa Indoensia.
Kepulauan Indonesia kini masih bergelar “tanah”, suatu saat akan menjadi “negeri” Indonesia itu akan berdiri sebagai bangsa Indonesia.”(Kemungkinan atas Persatuan Indonesia itu berdasarkan pertalian adab serta pengalaman bersama antara bagian-bagian dari tanah dan rakyat Indonesia pada zaman dahulu kala, lagi pula karena adanya semangat bersatu rakyatnya sekarang.[2]

Mulai sebagai “bahasa perantara” lambat laun karena adanya semangat memajukan (cultiveren) bahasa Indonesia akan menjadi bahasa kebudayaan (cultural) dan bangsa yang memakainya (meskipun berkedudukan di luar daerah Melayu) yakni bangsa Indonesia kelak (lihatlah gerakan bahasa yang telah terbuat di dalam pers, baik hari warta maupun majalah-majalah berkala kitab-kitab dan perumusan lainnya. Ingatlah bahasa Indonesia di dalam pergerakan rakyat pada zaman sekarang).
Walaupun pergerakan bahasa itu amat penting untuk kemajuan bahasa Indonesia akan tetapi untuk menyebarkannya di seluruh daerah dan sekitarnya lapisan rakyat kita perlu sekali bahasa Indonesia itu dimasukkan ke dalam segala pergerakan dari bangsa kita sebagai pelajaran yang diwajibkan (imperatief leervak).
Masuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang diwajibkan tidak berarti mendesak bahasa daerah yang masih berhak dan atau patut dipakai berhubung dengan kepentingan kebudayaan atau masyarakat (serta kepentingan paedagogis), akan tetapi berarti menambah keluasan alam dari anak-anak kita dari alam kebangsaan Indonesia. Mengabaikan bahasa daerah berarti merugikan laku kecerdasan jiwa kanak-kanak teristimewa jika bahasa daerah itu bernilai dalam arti kultural, sebaliknya mengabaikan bahasa persatuan juga akan merugikan kanak-kanak kelak teristimewa dalam arti kemasyarakatan.
Perguruan-perguruan yang terletak di daerah yang masih mempunyai bahasa sendiri yang oleh rakyatnya masih dipelihara sebagai “bahasa kebudayaan” atau “bahasa masyarakat” wajiblah paling sedikit memberi pengajaran bahasa Indonesia dalam dua tahun lamanya, buat daerah lainnya bahasa indonesia harus menjadi bahasa perantaraan. Dalam hal ini banyak keadaan-keadaan yang terletak di tengah-tengah tentang dipakainya bahasa Indonesia selaku voertaal atau diberikannya dalam dua tahun itu seringkali sukar untuk menetapkannya. Juga kedudukan bahasa Jawa yang besar dan luas sekali daerahnya dalam arti literer dan maat schappeliik adalah soal yang khusus dan patut minta perhatian spesial. Yang dinamakan bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu sungguhpun dasarnya berasal dari Melayu Riau akan tetapi sudah ditambah, diubah atau dikurangi menurut keperluan zaman dan alam baharu hingga bahasa itu lalu mudah dipakai oleh rakyat di seluruh Indonesia pembaharuan Bahasa Melayu hingga menjadi bahasa Indonesia itu harus dilakukan oleh kaum ahli yang beralam baharu ialah alam kebangsaan Indonesia.
Untuk mendapat ketertiban tentang kemajuan bahasa Indonesia itu, seluruh perguruan bangsa Indonesia begitu juga kaum wartawan harus takluk pada segala putusan tentang sifat dan bentuk bahasa yang baru itu yang telah dismbil oleh kongres bahasa yang seharusnya pada tiap-tiap tahun diadakan oleh kaum ahli-bahasa kaum wartawan dan kaum perguruan bersama-sama. Untuk keperluan perguruan tinggi juga perlu diadakan kitab-kitab yang ditulis para ahli yang didasarkan kepada perubahan-perubahan sifat dan benuk bahasa baru itu.agar semua guru dan seluruh perguruan bangsa tidak berbeda-beda dalam menyusunnya pengajaran bahasa Indonesia itu.
Sehubungan dengan sifat dan bentuk bahasa baharu itu pada tingkat perguruan rendsh harus memakai ukuran dan timbangan Indoensia, sedangkan buat perguruan menengah harus ada hubungan dengan sifat dan bentuk bahasa Melayu yang dipakai diluar negeri (Malaysa, Filipina, Jepang, Tiongkok, dan Europa) oleh orang-orang bangsa kita yang merantau keluar negeri itu yang berhubung dengan keperluan internasional boleh jadi merasa perlu mengadakan ejaan sendiri atau perubahan lainnya.
Ingatlah akan adanya Perguruan Bahasa Indonesia di luar negeri mungkin bahasa Indonesia itu akan tersebar diluar negeri. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan barulah berhasil jika diperhatikan kedudukan bahasa Indonesia pada seluruh masyarakat dahulu dan sekarang, tepatnya pada hari yang akan datang. Artinya bagi Bangsa Indonesia dan bagi pengetahuan umum.
 Kedudukan tempat dan arti bahasa Indonesia hanyalah dapat diketahui secara ilmiah keadaanya sekarang dan perhubungannya dengan segala bahasa yang termasuk rumpun Austria dan pengaruh bahasa lain terhadap bahasa indonesia. Oleh karena itu bahasa Indonesia yang sekarang ini dan seperti hanya seluruh bahasa di atas dunia menjalani kecerdasan sejarah, maka pengetahuan bahasa seperti yang dilazimkan sekarang, sekali-kali belum memadai jika pengetahuan tentang sejarahnya pada saat dahulu adalah memberikan pandangan yang bersih dan menyediakan perbekalan bagi orang yang hendak menarik garis yang akan datang. Oleh sebab itulah kedudukan bahasa Indonesia pada hari yang akan datang terserah kepada cendekiawan bahasa, para ahli bahasa,kemauan masyarakat dan kemenangan politik.
Sejarah dan kecerdasan masyarakat menunjukkan bahwa bahasa Indonesia ialah bahasa budaya:sebagai bahasa persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia. Sebagai perkakas rohani dalam beberapa daerah dan bagi anak Indonesia dan dengan lahirnya kebudayaan Indonesia bahasa Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan itu.
Perhubungan ini dan bahasa Indonesia dalam lingkungan kebudayaan haruslah mendapat tempat yang selarasnya dan yang serasi dengan cita-cita bangsa yang memiliki kebudayaan. Pengakuan dan kesadaran seperti yang tersebut di atas barulah dapat berjalan dengan baik jika didasarkan kepada pengetahuan bahasa, sejarah, jiwa dan masyarakat. Pengakuan dan kesadaran tersebut di atas menjadi keharusan dan kewajiban untuk memperluas kedudukan bahas Indonesia sebagai bahasa persamaan dan persatuan di Austronesia, serta begitu juga sebagai bahasa kebudayaan bangsa Indonesia dalam dunia perguruan, pendidikan, kesusastraan ilmu pengetahuan semua agama dan gereja.
Kebudayaan Indonesia baik yang umum ataupun yang daerah,memilih antara bahasa Indonesia baik yang umum ataupun yang daerah, memilih antara bahasa indonesia dan bahasa daerah walaupun bahasa lain yang antara bukan bahasa Austronesia tidak sedikit pengaruhnya tetapi ke luar dan ke dalam kebudayaan Indonesia membatasi segala bahasa lain itu. Pengetahuan dan kesadaran bangsa Indonesia menguatkan pendirian bahwa bahasa indonesia harus mendapat tempat sebagai bahasa pertemuan. Persatuan kebudayaan Indonesia dan sebagai bahasa negara.
    Bangsa Indonesia akan musnah jika anak negerinya tidak lagi mempergunakan bahasanya yaitu bahasa Indonesia sebaliknya, salah satu syarat untuk meninggikan derajat bangsa dan nusa ialah memperkokoh bahasa Indonesia. Karena pertempuran yang menimbulkan mixed culture (kebudayaan campuran) maka di beberapa tempat dan padabeberapa saat bahasa Indonesia terdesak oleh bahasa Belanda. Desakan itu lama-kelamaan menjadi common fact (keadaan biasa)dan akhirnya bisa memundurkan bahasa Indonesia.Karena itu harus diketahui dan selanjutnya harusdi atur dengan rapi sehingga pertempuran tadi mengadakan hasil yang bermanfaat sekurang-kurangnya yang tidak mendesak kepada kita.
 Salah satu mimbar tempat pertempuran antara timur dan barat ialah badan-badan perwakilan yang dibangun oleh pemerintah Belanda seperti Volksraad,Provinciale,Groepsgemeenschap,dan sebagainya, sebagai pohon yang asalnya dari tanah dingin dan tertanam dibumi matahari, maka buahnya sudah tentu mempunyai warna dan rasa yang spesial.
Bangsa timur yang mengambil bagian dalam badan-badan perwakilan rakyat tersebut harus insaf akan hari kemudian bilamana pekerjaan mengatur rumah tangga baik-sentral. Oleh karena bahasa adalah alat kebudayaan yang terpenting dan oleh karena itu berpikir cara modern bersandar kepada bahasa, maka kebudayaan Indonesia yang baru hanya mungkin tumbuh dengan baik apabila bangsa Indonesia seluruhnya atau sekurang-kurangnya yang menjadi pemuka dalam segala lapangan kebudayaan Indonesia, paham betul akan bahasa Indonesia.
            Kekacauan yang terdapat dalam bahasa Indonesia sekarang (1938) ini hanya mungkin lenyap apabila sebahagian terbesar orang yang memakainya sudah pernah mempelajarinya. Untuk mendapatkan jumlah yang sebesar-besarnya orang yang sudah mempelajari bahasa Indonesia yang bukan saja penting artinya untuk melenyapkan kekacauan bahasa tetapi sangat penting juga untuk menyuburkan tumbuhnya kebudayaan Indonesia yang baru (lihat dalil 2), maka mulai dari tingkat rendah sampai ketingkat tinggi.
Ucapan bahasa Melayu sekolah jelas menyatakan bahwa pelajaran bahasa disekolah sangat jauh terpisah dari masyarakat sebab sekolah mestinya mendidik masyarakat bukan mendidik dirirnya sendiri. Ukuran gramatika di sekolah harus diubah sebab berpikir zaman sekarang,lebih luas dan lanjut dapat diadakan (lihat dalil 10), maka untuk memperoleh ukuran yang dapat dipakai di masa ini, hendaklah dikumpulkan dengan teliti sejumlah karangan dari zaman ini, yang banyak dibaca di seluruh kepulauan ini dan yang ditulis oleh orang yang matang akan cara berpikir modern serta paham pula akan bahasa Indonesia. Dari karangan-karangan itu disaring suatu rancangan gramatika modern yang dapat dijadikan ukuran pengajaran bahasa Indonesia.
Agaknya terlalu sederhana apabila kita mengatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu tanpa mengetahui historisnya. Perlu diingat bahwa bahasa Melayu merupakan salah satu dialek yang tersebar di Nusantara yang dipakai sejak zaman dulu, tetapi karena Melayu sudah merupakan lingua franca atau juga disebut Melayu Pasar, maka pemakaiannya lebih menonjol apabila dibandingkan dengan dialek-dialek melayuiyan lain. Untuk lebih mengetahui perkembangan serta asal-usul bahasa Indonesia sejak awalnya, maka kita perlu mengetahui beberapa fakta historis seperti di bawah.ini.diantaranya:

1.Bahasa.Melayu.Sebelum.Masa.Kolonial

         Sesuai dengan bukti-bukti tertulis mengenai bahasa Melayu, namun dapat dipastikan bahwa bahasa Melayu sudah dipakai sejak zaman kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Adapun bukti-bukti tertulis pertama mengenai bahasa Melayu ini terdapat dalam prasasti-prasasti sekitar tahun 680 M, seperti prasasti Kedukan Bukit di sekitar Palembang dengan angka tahun 683 M, prasasti Kota Kapur berangka 686 M (Bangka Barat), prasasti Talang Tuwo berangka tahun 684 M, serta prasasti Karang Brahi berangka tahun 688 M (antara Jambi dan Sungai Musi).
Ketika orang-orang Barat sampai ke Indonesia abad XVI mereka menemukan suatu kenyataan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang dipakai dalam kehidupan yang luas bangsa Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan, misalnya seorang Portugis bernama Pigefetta, setelah mengunjungi Tidore, menyusun semacam daftar kata bahasa Melayu pada tahun 1522. Jan Huvgenvan Linschoten, menulis bukuyang berjudul “Itinerarium ofte schipvaert Naer Oost Portugels Indiens.” Dikatakan bahwa bahasa Melayu itu bukan saja sangat harum namanya, tetapi juga merupakan bahasa negeri Timur yang dihormati.Baik bangsa Portugis maupun bangsa Belanda yang datang ke Nusantara mendirikan sekolah-sekolah. Mereka terbentur dalam soal bahasa pengantar.
Kegagalan dalam mempergunakan/menyebarkan bahasa-bahasa barat itu, memuncak dengan keluarnya keputusan pemerintah colonial, KB 1871 No. 104, yang menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putera diberikan dalam bahasa daerah atau bahasa Melayu. Perlu kita ketahui pula, bahwa pada waktu itu bahasa Melayu.terbagi.menjadi.tiga.golongan,

1. Melayu tinggi yaitu bahasa Melayu sebagaimana dipakai dalam kitab sejarah Melayu.
2. Melayu rendah yaitu bahasa Melayu pasar atau pula bahasa Melayu campuran.
3. Melayu daerah yaitu bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh dialek-dialek tertentu.

2.Bahasa.Melayu.pada.Masa.Pergerakan.Kemerdekaan

         Tokoh pergerakan mencari bahasa yang dapat dipahami dan dapat dipakai oleh segenap lapisan suku bangsa yang ada. Pada mulanya memang sulit menentukan bahasa mana yang dapat dipakai itu. Pemikiran terwujudnya bahasa persatuan, sebenarnya tumbuh sejak kesadaran kebangsaan, lebih memuncak lagi setelah Dewan Rakyat pada tahun 1918 berpikir tentang bahasa persatuan yang sangat diperlukan.
Dari hasil pemikiran para tokoh pergerakan dan Dewan Rakyat, akhirnya dipilih bahasa Melayu dengan pertimbangan bahwa bahasa telah dipakai hampir sebagian rakyat Indonesia pada waktu itu. Tokoh pergerakan yang senantiasa memperkenalkan bahasa Melayu kepada seluruh rakyat dengan pertimbangan bahasa Melayu telah mempunyai ejaan resmi yang ditulis dalam Kitab Logat Melayu yang disusun oleh Ch. A. Van Ophuysen.
Sejarah telah mencatat bahwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah titik kulminasi bagi penentuan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, karena pada waktu itu pertama kali kita mengikrarkan sumpah yang berbunyi:

          1.   Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu yaitu Tanah Air   
          2.  Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia
          3. Kami putra-putri Indonesia mengaku menjunjung persatuan
Sebab beberapa bahagian kepulauan kita ini bahasa Indonesia harus diajarkan  sebagai bahasa asing di sisi bahasa daerah, maka untuk memudahkan pengajaran bahasa Indonesia  itu hendaklah selekas-selekasnya diadakan penyelidikan tentang kata-kata dan pertalian kata yang tetap (collocaties) untuk memperoleh dasar pengajaran bahasa yang rasional. Sejarah bahasa Melayu mempunyai rentang dan ranji yang cukup panjang. Sepanjang sejarah tamadun manusia yang telah mengenal bahasa, pelbagai ilmu diterokai akibat kemasukan pengaruh luar. Kedatangan pengaruh Hindu dan Budha yang telah meletakkan mercu keagungan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah mempersaksikan lahirnya pelbagai bentuk ilmu warisan pengaruh luar. Pelbagai bukti telah ditemui dari prasasti bahasa Melayu Kuno, dan sumber-sumber peninggalan di India dan Cina.
Keberadaan bahasa Melayu yang berkembang di sekitar tepian pantai, selat, kuala, pulau, tanjung di daerah pesisir Asia Tenggara, pada awalnya hanyalah bahasa yang sangat sederhana dengan berbagai ragam dialek. Karena pergerakan interaksi dan komunikasi manusia ketika itu lebih terfokus pada daerah pesisir sebagai wilayah hunian bangsa Melayu dan selanjutnya menjadi jalur dan persinggahan perdagangan secara perlahan namun pasti menyebabkan bahasa Melayu terpakai sebagai bahasa pergaulan dan kemudian meningkat menjadi bahasa perdagangan. Kenyataan ini semakin menunjukan jati bahasa Melayu yang komunikatif ketika terbinanya jalur perdagangan antar bangsa (India, Cina, Arab dan Eropah).
Kesusastraan Melayu muncul dan berkembang mulai dari abad ke-14 di berbagai Bandar di kedua sisi Selat Melaka. Pada waktu itu, bahasa Melayu sudah berabad-abad tersebar di Kepulauan India dan dunia Melayu pada umumnya sebagai bahasa perantara (lingua franca) dan sudah pula menjadi media dakwah agama Islam. Oleh karena itu sastra Melayu, yang tertulis dengan huruf Arab menyebar juga di seluruh Nusantara.
Karya-karya dalam bahasa Melayu tidak saja ditulis di Riau atau Semenanjung Melayu saja, melainkan termasuk diberbagai pusat kerajaan yang berjauhan, seperti: Aceh, Bima, dan Ternate.
Naskah-naskah tertua yang ditemukan, diperkirakan telah ada sekitar abad 16 dan 17, naskah tersebut sangat langka; kebanyakan naskah yang kini ditemukan dan diketahui diperkirakan abad ke 18 dan terutama abad ke 19. Naskah-naskah tersebut tersimpan di berbagai perpustakaan di seluruh dunia.
Disebabkan perannya sebagai bahasa dagang, dakwah, pengajaran dan kesusastraan, politik dan pemerintahan, sampai menjadi bahasa nasional di Indonesia dan Malaysia, maka bahasa Melayu mendapat perhatian khusus mulai dari abad ke-18.
Bahasa Minang (Minangkabau) secara etnik berbeda dengan bahasa Melayu, namun bila ditinjau susur galur perkembangan kebahasaan, ini merupakan salah satu bentuk dan dialek bahasa Melayu. Wieringa, sering memerikan naskah minang sama dengan naskah Melayu, oleh karena tulisan bahasa Minang tidak memperlihatkan semua perbedaan lafal antara bahasa Minang dengan bahasa Melayu. Dalam hal ini, tulisan Jawi berfungsi sebagai tulisan standar ejaannya sesuai dengan lafal Melayu dan dipakai juga untuk sejumlah kata-kata minang.lllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll
          Naskah-naskah Sunda sudah dikenal sejak abad ke-15, mula-mula ditulis di atas daun lontar kemudian di atas kertas. Aksara yang dipakai adalah Aksara Sunda Kuna, disusul Aksara Sunda-Jawa (disebut: Cacarakan) serta huruf Arab. Sebagai contoh: Sejarah anten dalam bahasa Jawa dengan huruf Pegon yang berbentuk Macapat. Kerajaan Ternate pada masa dahulu telah mempunyai tradisi tulis dalam bahasa setempat yang rupanya sangat mirip dengan tradisi tulisan dalam bahasa Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan dan dalam bahasa Melayu di Bima (Sumbawa). Begitu juga bahasa Wolio, tertulis dengan huruf Arab dipakai sebagai bahasa politik dan kebudayaan di Kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara). Teks-teks yang dikarang dalam bahasa setempat berisi sejarah, agama, hukum, sastra dan lain-lain yang ditulis dengan menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu).lllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll
          Bahasa-bahasa Sumatra Selatan, beberapa tulisan daerah, a.l: Bahasa Kerinci, Rejang dan Lampung, serta sekelompok dialek yang diistilahkan dengan bahasa Melayu Tengah (menurut istilah Brandes 1887), dipakai di Sumatra Selatan yang mempunyai hubungan dengan bahasa Melayu Riau. Tulisan sebelum aksara Arab di Sumatra: Melihat kekerabatan antara tulisan di Sumatra Selatan (kerinci, rencong, tulisan Ulu dan Lampung) di satu sisi dengan tulisan Batak di satu pihak, dan kehadiran tulisan Melayu Kuna yang digunakan di Sri Wijaya pada abad ke-7 dan di Pasai pada abad ke-14, maka diperkirakan bahwa sebuah tulisan Sumatra Purba (Proto Sumatra) pernah dipergunakan di seluruh Pulau Sumatra sebelum kedatangan Islam tulisan Sumatra Purba tersebut berasal dari satu model India (seperti tulisan-tulisan pra Islam yang lain di Indonesia) dan kemudian terpengaruh dengan tulisan Jawa.
Waktu berkembang menjadi dua jenis yang berbeda, yaitu: Tulisan Batak di Utara dan Tulisan Rencong di Selatan. Oleh karena bahasa-bahasa tersebut, seperti juga aksara-aksaranya, saling berkaitan, meskipun sebenarnya bahasa Rejang dan Lampung merupakan dua bahasa yang berlainan, bukan dua dialek dari satu bahasa. Selain bahasa-bahasa tersebut, terjumpai juga dalam beberapa naskah sebuah ragam bahasa sastra atau bahasa tinggi yang sebenarnya tidak lain dari bahasa Melayu dengan pengaruh bahasa Jawa serta kata-kata pinzaman dari dialek-dialek setempat.
    
A.    Pengertian ragam bahasa
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu (1) ragam bahasa lisan, (2) ragam bahasa tulis. Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.[3]

B.       Ragam Bahasa Berdasarkan Media/Sarana
        Di dalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang alih-alih disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa kata baasa Indonesia ragam baku atau kosa kata bahasa Indonesia baku adalah kosa kata baku bahasa Indonesia, yang memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi di dalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.
Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi anutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Dalam pada itu perlu yang perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).[4]
a.       Ragam Bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Sehingga maksud seseorang bisa dilihat dari gaya dia berbicara(Hasan, 2000)
Contoh yang termasuk ke dalam ragam bahasa lisan pun sangat banyak, diantaranya pidato, ceramah, sambutan, ngobrol, dll. Semua itu sering digunakan kebanyakan orang dalam kehidupan sehari-hari, terutama ngobrol atau berbincang-bincang, karena tidak diikat oleh aturan-aturan atau cara penyampaian seperti halnya pidato ataupun ceramah. Syarat utama dari ngobrol yang penting bisa dimengerti oleh lawan bicara, tidak perlu menggunakan bahasa baku.
a.       Ragam Bahasa Tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide(Effendi, 1981)[5]
Contoh dari ragam bahasa tulis adalah surat, karya ilmiah, surat kabar, dll. Dalam ragam bahsa tulis perlu memperhatikan ejaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Terutama dalam pembuatan karya-karya ilmiah.
Ciri Ragam Bahasa Tulis :
1.      Kosa kata yang digunakan dipilih secara cermat
2.      Pembentukan kata dilakukan secara sempurna,
3.      Kalimat dibentuk dengan struktur yang lengkap, dan
4.      Paragraf dikembangkan secara lengkap dan padu.
C.      Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur
a.       Ragam Bahasa Berdasarkan Daerah (logat/dialek)
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan “b” pada posisi awal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan “t” seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.

a.       Ragam Bahasa berdasarkan Pendidikan Penutur
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, video, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai
a.       Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Bahasa baku dipakai dalam
1.      pembicaraan di muka umum, misalnya pidato kenegaraan, seminar, rapat dinas memberikan kuliah/pelajaran.
2.      pembicaraan dengan orang yang dihormati, misalnya dengan atasan, dengan guru/dosen, dengan pejabat.
3.      komunikasi resmi, misalnya surat dinas, surat lamaran pekerjaan, undang-undang.
4.      wacana teknis, misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.

D.      Ragam Bahasa menurut Pokok Pesoalan atau Bidang Pemakaian
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini kita pun menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama; koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran; improvisasi, maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni; pengacara, duplik, terdakwa, digunakan dalam lingkungan hukum; pemanasan, peregangan,[6] wasit digunakan dalam lingkungan olah raga. Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat dalam sastra, kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam koran/majalah, dll. Contoh kalimat yang digunakan dalam undang-undang.

E. Ragam Bahasa Berita Dan Cirinya
1.             Struktur Teks Judul Dan Tubuh Berita
Dari penelitian ternyata kita harus membedakan tubuh berita dan judulnya. Judul, di samping bertugas memperkenalkan apa yang dikemukakan dalam tubuh berita, juga bertugas menarik perhatian pembaca. Oleh karena itu , perhatian khusus diberikan dalam penulisan judul ini oleh penulis berita. Terlepas dari judulnya, suatu tubuh berita memang disusun dengan tujuan menarik perhatian pembaca  di samping memberi informasi. Bahkan, tidak jarang terjadi judul dan tubuh berita  melampaui tugasnya sebagai penarik perhatian. Judul dan tubuh erita juga dibuat untuk mempengaruhi pembaca.
a.             Jenis teks tubuh berta
Berita termasuk teks yang menitikberatkan narasi penceritaan yang mengandung   peristiwa-peristiwa dan hubungan waktu. Membagi teks dalm tiga jenis, yakni :
1)                  Narasi, yang menitikberatkan penyajian tindakan dan peristiwa, serta berisi hubungan-hubungan yang menyangkut waktu, misalnya cerita pendek, dongeng, reportase, dan berita;
2)                  Deskripsi, yang menitikberatkan pelukisan serta hubungan yang menyangkut ruang, misalnya uraian yang memberikan gambaran tentang bentuk suatu benda atau suatu pemandangan;
3)                  Argumen, yang menitikberatkan pelukisan serta hubungan  logika, dan kausatif, misalnya esei, tajuk rencana, dan karya ilmiah.
Tidak perli dikemukakan lagi  disini bahwa tidak ada teks yang mumi, termasuk salah satu jenis tersebut diatas. Biasanya suatu teks kita golongkan dalam salah satu jenis itu berdasarkan ciri-ciri jenis yang mendominasi teks itu. Dengan demikian , dapat disimpulkan bahwa teks berita termasuk dalam jenis teks yangn menitikberatkan penyajian peristiwa dan tindakan serta hubungan waktu. Jadi, teks berita termasuk naratif.

b.               Struktur dasar teks tubuh berita
Calr warren  ( 1955:85 ) mengemukakan bahwa pada dasarnya suatu ( tubuh ) berita berbeda dengan teks karya fiksi seperti novel atau drama. Perbedaan itu terletak pada strukturnya, yakni susunan organisasi bagian-bagiannya menurut kepentingan isinya. Ambillah suatu berita seperti yanng dibawah ini :
Eddy purwanto ( 19 tahun ), pembantu keamanan dirjen pajak  yang berdiam di pintu II senayan jakarta, rabu kemaren menjadi korban penusukan laki-laki yang yidak dikenal dibelakang STM pembangunan kebayoran jakarta. Korban masih dalam perawatan di RSTM, karena keadaannya menguatirkan.
Menurut dinas penerangan Komdas Metro, penusukan dilakukan dengan senjata tajam yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pelakunya sampai saat ini masih dalam pengejaran yang bewajib, sementara menurut masyarakat setempat diduga peristiwa itu berlatar belakanng penodongan.
Barang-barang korban yang hilang kini masih dalam pengusutan. Persoalannya ditangani kepolisian Komwil 74 Jakarta Selatan ( kompas, jumat 10-1-75 )
Teks berita di atas mementingkan peristiwa serta pelakunya. Oleh karena itu,
Bagian yang dianggap penting ini ditepatkan pada awal teks ( disebut juga paragraf pembuka ).[7]
Mengapa berita mendahulukan ‘’klimaks’’ nya? Warren mengemukakan antara lain bahwa pembaca surat kabar pada umumnya orang-orang yang ‘’ tidak memiliki banyak waktu’’sehingga surat kabar harus menyuguhkan hal yang terpenting dahulu agar dibaca, sedang hal yang kurang penting dan bagian yang bersifat memperinci menyusul kemudiaan ( 1955:84 ). Bagian terpenting itu hampir sama fungsinya dengan judul berita yang bertugas menarik perhatian pembaca disamping memperkenalkan isi berita.
c.       Isi teks judul berita
Sebagaimana halnya paragraf pembuka, judul mempunyai fungsi daya tarik pandangan ( eye-appeal ) di samping daya tarik kebahsaan. Daya tarik pandangan ini bersangkutan dengan tipografi dan tata halaman. Oleh karena penelitian khusus mengenai hal yang itu belum diadakan, persoalan itu tidak akan dibicarakan di sini. Sebaliknya , segi kebahasaan akan dibicarakan secara khusus.
Judul bersifat kata falsafah artinya mengacu pada apa yang kemudian dinyatakan dalam teks tubuh berita . dalam hubungan ini, kita dapat membedakan dua jenis judul, yakni (1) judul yang langsung ada hubungannya denngan bagian utama berita ( selanjutnya disebut judul langsung) dan (2)  judul yang tidak langsung ada hubunganny dengan bagian utama berita ( selanjutnya disebut juga tak langsung ).
1)      Judul langsung
judul langsung terdiri dari :
a)      Ikhtisar ( judul merupakan ikhtisar isi tubuh berita atau paragraf pembukaan ), misalnya ;
”tiga laki-laki pembunuh gadis dihukum seumur hidup”( sinar harapa, 24-5-75 ).
b)      Tafsiran ( judul merupakan tafsiran penulisan berita ).
Judul tafsiran ini dapat dibedakan dengan judul ikhtisar dengan hubungannya isi berita. Judul ikhtisar benar-benar memperlihatkan apa yang merupakan inti berita, sedangkan tafsiran tidak sepenuhnya sesuai dengan isi inti berita.”tewas kena tusuk gara-gara cekcok maen Gaplek” ( suara karya, 12-2-75 ) tidak sepenuhnya benar. Royani, yang menjadi korban penusukan, tidak dinyatakan ,main gaplek dalam berita itu. Ia hanya dinyatakan ditusuk di suatu rumah perjudian. Bahwa royani main gaplek itu hanya tafsiran penulis judul.
c)      Kutipan ( judul merupakan ucapan seseorang yang disebutkan dalam berita ), misalnya :
“ kalau keadaan timor  portugis membahayakan, tak akan dibiarkan” ( kompas, 3-3-75 ).
Judul diatas merupakan kutipan ucapan Menteri Luar Negeri Adam Malik ( waktu itu ).
2)             Judul tak langsung
Judul tak langsung merupakan cuplikan ( yang kadang-kadang tidak lengkap) dari sebagian tubuh berita yang tidak penting, tetapi dapat menarik perhatian bila dijadikan judul. Seperti halnya judul langsung. Judul tak langsung dapat berupa, ikhtisar, tafsiran, atau kutipan. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini ialah sebuah judul” pangeran dari yokya meninggal habis lihat 1000 patung di borobudur” ( pos kota, 6-3-75 ) yang mengawali suatu berita dengan isi pokok” bantuan IBM pada proyek pemugaran candi Borobudur” berdasarkan keterangan pers Direktur Jenderal kebudayaan dan ketua proyek pemugaran Borobudur  yang ditambahkan pada tema pokok tersebut.
b.                   Sintaksis Dalam Tubuh Berita
Gejala yang sintaksis yanng khas dalam ragam bahasa berita yang kita dapati dalam tubuh berita dapat dibagi dalam tiga golongan berdasarkan penyebabnya, yakni (a) yang disebabkan oleh usaha penghematan dengan menghindari penggunaan kata yang bisa disebut “ kata mubazir” seperti bahwa, oleh, dan yang, (b) penyerapan struktur kalimat bahasa inggris, seperti struktur partisip, dan (c) hasil ciptaan penulis berita.
a.      Kata mubazir
Kata mubazir adalah kata yang dianggap oleh penulisan berita tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi bila tidak dipakai. Oleh karena itu,dengan tujuan pennghematan kata-kata jenis itu dihindari pemakaiannya. Beberapa kata yang dianggap mubazir ialah bahwa, pada, oleh, yang, untuk, hari, tanggal, dan bulan. Kata mubazir yang dicatat tinggi frekuensinya ialah berturut-turut, bahwa, pada, dan oleh,hal yang perlu dicatat di sini bahwa yang dianggap mubazir bila terdapat dalam frase tertentu saja seperti senin ( yang ) lalu yang menunjukan waktu.[8]
b.      Serapan dari bahasa inggris
tidak dapat di sangkal, baik kantor berita nasional maupun surat-surat kabar  sering mengutip berita yang bersumber pada kantor berita asing, khususnya yang berbahasa inggris. Tidak jarang berita-berita itu do terjemahkan langsung sehingga jumlah struktur dialihkan begitu saja tanpa mengingat struktur semacam itu tidak ada dalam bahasa indonesia. Dua jenis struktur yang sering tercatat ialah  struktur yang bisa disebut partisip. Misalnya:
struktur yang mirip dengan struktur partisip aktif :
menyinggu semangat pengorbanan yang harus dimiliki seorang prajurit, jenderal Jusuf  meminta para taruna merenungi ketabahan prajurit-prajurit yang dijumpai  sewaktu perjalanan inspeksisnya ( kompas, jumat, 29/9/78 )”.
Bandingkn dengan sebuah berita dalam bahasa inggris:
telling her own stony of  the chester sands slaying of which she was accused, bloria lamar, cabaret dancer, today tried to convince a circuit court jury of her innoccence.”
Struktur yanng mirip dengan struktur partisip pasif:
Ditanya apakah penerbit ini juga akan meliputi penelitian golongan, cosmas mengatakan tidak demikian halnya ( sinar harapan, senin, 2/10/78 ).”
Bandingkan dengan berita bahasa inggris berikut ini:
asked by journalists about the results of the meeting the minister said.....”
Dua jenis berita struktur itu kelihatannya makin sering dipergunakan dan dianggap sudah biasa dalam ragam bahasa berita. Tentu saja ada struktur serapan lainnya seperti “lahir di medan  tiga puluh tahun yang lalu, MH mencoba nasibnya di jakarta *(...)”; bandingkan dengan  “born in new jersey may 4,1898, john paulson spent his boyhood in the east...”struktur-struktur tersebut  tadi dianggap sebagai serapan dari bahasa asing karenan masuk melalui terjemahan sedangkan dalam bahasa indonesia sturktur macam itu tadinya belum ada. Unusur serapan seperti itu disebut translationese, yakni unsur yanng masuk melalui terjemahan pada suatu bidang yang belum memiliki ragam tersendiri atau ragamnya yang sedang berkembang. Pada mulanya unsur seperti itu dianggap janggal dan tifak jaranng pula ditolak. Tetapi , tidak juga unsur serapan tertentu dianggap cocok dan kemudian diterima dalam ragam untuk bidang yanng bersangkutan. Gejala tersebut terjadi dalam bidang penulisan berita.
c.       Hasil ciptaan penulisan berita
Dalam menulis berita, wartawan selalu dibayangi oleh kewajiban informasi untuk berhemat dengan kata dan menyampaikan informasi yang jelas. Tidak jarang wartawan menciptakan sendirir struktur kalimat  baru yang seperti halnya struktur  mahar mardjono yang rektor  muncu pertama kali dalam majalah tempo. Didorong  pula oleh kewajiban mengetengahkan prinsip 5w ( who, what, when, where, dan why ) dan 1H ( how ), setidak-tidaknya sebagaian dari formula itu pada pargraf pembuka, seorang wartawan terpaksa menciptakan kalimat yang banyak sisipannya, [9]

A.       Pengertian ragam bahasa
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu (1) ragam bahasa lisan, (2) ragam bahasa tulis. Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.[10]

B.       Ragam Bahasa Berdasarkan Media/Sarana
        Di dalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang alih-alih disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa kata baasa Indonesia ragam baku atau kosa kata bahasa Indonesia baku adalah kosa kata baku bahasa Indonesia, yang memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi di dalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.
Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi anutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Dalam pada itu perlu yang perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).[11]
b.      Ragam Bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Sehingga maksud seseorang bisa dilihat dari gaya dia berbicara(Hasan, 2000)
Contoh yang termasuk ke dalam ragam bahasa lisan pun sangat banyak, diantaranya pidato, ceramah, sambutan, ngobrol, dll. Semua itu sering digunakan kebanyakan orang dalam kehidupan sehari-hari, terutama ngobrol atau berbincang-bincang, karena tidak diikat oleh aturan-aturan atau cara penyampaian seperti halnya pidato ataupun ceramah. Syarat utama dari ngobrol yang penting bisa dimengerti oleh lawan bicara, tidak perlu menggunakan bahasa baku.
b.      Ragam Bahasa Tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide(Effendi, 1981)[12]
Contoh dari ragam bahasa tulis adalah surat, karya ilmiah, surat kabar, dll. Dalam ragam bahsa tulis perlu memperhatikan ejaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Terutama dalam pembuatan karya-karya ilmiah.
Ciri Ragam Bahasa Tulis :
5.      Kosa kata yang digunakan dipilih secara cermat
6.      Pembentukan kata dilakukan secara sempurna,
7.      Kalimat dibentuk dengan struktur yang lengkap, dan
8.      Paragraf dikembangkan secara lengkap dan padu.
C.      Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur

a.      Ragam Bahasa Berdasarkan Daerah (logat/dialek)
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan “b” pada posisi awal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan “t” seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.

b.      Ragam Bahasa berdasarkan Pendidikan Penutur
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, video, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai
c.       Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Bahasa baku dipakai dalam
1.      pembicaraan di muka umum, misalnya pidato kenegaraan, seminar, rapat dinas memberikan kuliah/pelajaran.
2.      pembicaraan dengan orang yang dihormati, misalnya dengan atasan, dengan guru/dosen, dengan pejabat.
3.      komunikasi resmi, misalnya surat dinas, surat lamaran pekerjaan, undang-undang.
4.      wacana teknis, misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.

D.      Ragam Bahasa menurut Pokok Pesoalan atau Bidang Pemakaian
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini kita pun menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama; koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran; improvisasi, maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni; pengacara, duplik, terdakwa, digunakan dalam lingkungan hukum; pemanasan, peregangan,[13] wasit digunakan dalam lingkungan olah raga. Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat dalam sastra, kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam koran/majalah, dll. Contoh kalimat yang digunakan dalam undang-undang.

E. Ragam Bahasa Berita Dan Cirinya
a.     Struktur Teks Judul Dan Tubuh Berita
Dari penelitian ternyata kita harus membedakan tubuh berita dan judulnya. Judul, di samping bertugas memperkenalkan apa yang dikemukakan dalam tubuh berita, juga bertugas menarik perhatian pembaca. Oleh karena itu, perhatian khusus diberikan dalam penulisan judul ini oleh penulis berita. Terlepas dari judulnya, suatu tubuh berita memang disusun dengan tujuan menarik perhatian pembaca  di samping memberi informasi. Bahkan, tidak jarang terjadi judul dan tubuh berita  melampaui tugasnya sebagai penarik perhatian. Judul dan tubuh erita juga dibuat untuk mempengaruhi pembaca.
b.        Jenis teks tubuh berta
Berita teks yang menitikberatkan narasi penceritaan yang mengandung peristiwa-peristiwa dan hubungan waktu. Membagi teks dalm tiga jenis, yakni :
1)                  Narasi, yang menitikberatkan penyajian tindakan dan peristiwa, serta berisi hubungan-hubungan yang menyangkut waktu, misalnya cerita pendek, dongeng, reportase, dan berita;
2)                  Deskripsi, yang menitikberatkan pelukisan serta hubungan yang menyangkut ruang, misalnya uraian yang memberikan gambaran tentang bentuk suatu benda atau suatu pemandangan;
3)                  Argumen, yang menitikberatkan pelukisan serta hubungan  logika, dan kausatif, misalnya esei, tajuk rencana, dan karya ilmiah.
Tidak perlu dikemukakan lagi  disini bahwa tidak ada teks yang mumi, termasuk salah satu jenis tersebut diatas. Biasanya suatu teks kita golongkan dalam salah satu jenis itu berdasarkan ciri-ciri jenis yang mendominasi teks itu. Dengan demikian , dapat disimpulkan bahwa teks berita termasuk dalam jenis teks yangn menitikberatkan penyajian peristiwa dan tindakan serta hubungan waktu. Jadi, teks berita termasuk naratif.

d.                  Struktur dasar teks tubuh berita
Calr warren  ( 1955:85 ) mengemukakan bahwa pada dasarnya suatu ( tubuh ) berita berbeda dengan teks karya fiksi seperti novel atau drama. Perbedaan itu terletak pada strukturnya, yakni susunan organisasi bagian-bagiannya menurut kepentingan isinya. Ambillah suatu berita seperti yanng dibawah ini :
Eddy purwanto ( 19 tahun ), pembantu keamanan dirjen pajak  yang berdiam di pintu II senayan jakarta, rabu kemaren menjadi korban penusukan laki-laki yang yidak dikenal dibelakang STM pembangunan kebayoran jakarta. Korban masih dalam perawatan di RSTM, karena keadaannya menguatirkan.
Menurut dinas penerangan Komdas Metro, penusukan dilakukan dengan senjata tajam yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pelakunya sampai saat ini masih dalam pengejaran yang bewajib, sementara menurut masyarakat setempat diduga peristiwa itu berlatar belakanng penodongan.
Barang-barang korban yang hilang kini masih dalam pengusutan. Persoalannya ditangani kepolisian Komwil 74 Jakarta Selatan ( kompas, jumat 10-1-75 )
                        Teks berita di atas mementingkan peristiwa serta pelakunya. Oleh karena itu,
            Bagian yang dianggap penting ini ditepatkan pada awal teks ( disebut juga paragraf pembuka ).[14]
Mengapa berita mendahulukan ‘’klimaks’’ nya? Warren mengemukakan antara lain bahwa pembaca surat kabar pada umumnya orang-orang yang ‘’ tidak memiliki banyak waktu’’sehingga surat kabar harus menyuguhkan hal yang terpenting dahulu agar dibaca, sedang hal yang kurang penting dan bagian yang bersifat memperinci menyusul kemudiaan ( 1955:84 ). Bagian terpenting itu hampir sama fungsinya dengan judul berita yang bertugas menarik perhatian pembaca disamping memperkenalkan isi berita.
e.                   Isi teks judul berita
Sebagaimana halnya paragraf pembuka, judul mempunyai fungsi daya tarik pandangan ( eye-appeal ) di samping daya tarik kebahsaan. Daya tarik pandangan ini bersangkutan dengan tipografi dan tata halaman. Oleh karena penelitian khusus mengenai hal yang itu belum diadakan, persoalan itu tidak akan dibicarakan di sini. Sebaliknya , segi kebahasaan akan dibicarakan secara khusus.
            Judul bersifat kata falsafah artinya mengacu pada apa yang kemudian dinyatakan dalam teks tubuh berita . dalam hubungan ini, kita dapat membedakan dua jenis judul, yakni (1) judul yang langsung ada hubungannya denngan bagian utama berita ( selanjutnya disebut judul langsung) dan (2)  judul yang tidak langsung ada hubunganny dengan bagian utama berita ( selanjutnya disebut juga tak langsung ).
3)                  Judul langsung
judul langsung terdiri dari :
a)                  Ikhtisar ( judul merupakan ikhtisar isi tubuh berita atau paragraf pembukaan ), misalnya ;
”tiga laki-laki pembunuh gadis dihukum seumur hidup”( sinar harapa, 24-5-75 ).
b)                  Tafsiran ( judul merupakan tafsiran penulisan berita ).
Judul tafsiran ini dapat dibedakan dengan judul ikhtisar dengan hubungannya isi berita. Judul ikhtisar benar-benar memperlihatkan apa yang merupakan inti berita, sedangkan tafsiran tidak sepenuhnya sesuai dengan isi inti berita.”tewas kena tusuk gara-gara cekcok maen Gaplek” ( suara karya, 12-2-75 ) tidak sepenuhnya benar. Royani, yang menjadi korban penusukan, tidak dinyatakan ,main gaplek dalam berita itu. Ia hanya dinyatakan ditusuk di suatu rumah perjudian. Bahwa royani main gaplek itu hanya tafsiran penulis judul.
c)          Kutipan ( judul merupakan ucapan seseorang yang disebutkan dalam berita ), misalnya :
“ kalau keadaan timor  portugis membahayakan, tak akan dibiarkan” ( kompas, 3-3-75 ).
Judul diatas merupakan kutipan ucapan Menteri Luar Negeri Adam Malik ( waktu itu ).
4)        Judul tak langsung
Judul tak langsung merupakan cuplikan ( yang kadang-kadang tidak lengkap) dari sebagian tubuh berita yang tidak penting, tetapi dapat menarik perhatian bila dijadikan judul. Seperti halnya judul langsung. Judul tak langsung dapat berupa, ikhtisar, tafsiran, atau kutipan. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini ialah sebuah judul” pangeran dari yokya meninggal habis lihat 1000 patung di borobudur” ( pos kota, 6-3-75 ) yang mengawali suatu berita dengan isi pokok” bantuan IBM pada proyek pemugaran candi Borobudur” berdasarkan keterangan pers Direktur Jenderal kebudayaan dan ketua proyek pemugaran Borobudur  yang ditambahkan pada tema pokok tersebut.
c.         Sintaksis Dalam Tubuh Berita
Gejala yang sintaksis yanng khas dalam ragam bahasa berita yang kita dapati dalam tubuh berita dapat dibagi dalam tiga golongan berdasarkan penyebabnya, yakni (a) yang disebabkan oleh usaha penghematan dengan menghindari penggunaan kata yang bisa disebut “ kata mubazir” seperti bahwa, oleh, dan yang, (b) penyerapan struktur kalimat bahasa inggris, seperti struktur partisip, dan (c) hasil ciptaan penulis berita.
a.                  Kata mubazir
Kata mubazir adalah kata yang dianggap oleh penulisan berita tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi bila tidak dipakai. Oleh karena itu,dengan tujuan pennghematan kata-kata jenis itu dihindari pemakaiannya. Beberapa kata yang dianggap mubazir ialah bahwa, pada, oleh, yang, untuk, hari, tanggal, dan bulan. Kata mubazir yang dicatat tinggi frekuensinya ialah berturut-turut, bahwa, pada, dan oleh,hal yang perlu dicatat di sini bahwa yang dianggap mubazir bila terdapat dalam frase tertentu saja seperti senin ( yang ) lalu yang menunjukan waktu.[15]
b.                  Serapan dari bahasa inggris
tidak dapat di sangkal, baik kantor berita nasional maupun surat-surat kabar  sering mengutip berita yang bersumber pada kantor berita asing, khususnya yang berbahasa inggris. Tidak jarang berita-berita itu do terjemahkan langsung sehingga jumlah struktur dialihkan begitu saja tanpa mengingat struktur semacam itu tidak ada dalam bahasa indonesia. Dua jenis struktur yang sering tercatat ialah  struktur yang bisa disebut partisip. Misalnya:
struktur yang mirip dengan struktur partisip aktif :
menyinggu semangat pengorbanan yang harus dimiliki seorang prajurit, jenderal Jusuf  meminta para taruna merenungi ketabahan prajurit-prajurit yang dijumpai  sewaktu perjalanan inspeksisnya ( kompas, jumat, 29/9/78 )”.
Bandingkn dengan sebuah berita dalam bahasa inggris:
telling her own stony of  the chester sands slaying of which she was accused, bloria lamar, cabaret dancer, today tried to convince a circuit court jury of her innoccence.”
Struktur yanng mirip dengan struktur partisip pasif:
Ditanya apakah penerbit ini juga akan meliputi penelitian golongan, cosmas mengatakan tidak demikian halnya ( sinar harapan, senin, 2/10/78 ).”
Bandingkan dengan berita bahasa inggris berikut ini:
asked by journalists about the results of the meeting the minister said.....”
Dua jenis berita struktur itu kelihatannya makin sering dipergunakan dan dianggap sudah biasa dalam ragam bahasa berita. Tentu saja ada struktur serapan lainnya seperti “lahir di medan  tiga puluh tahun yang lalu, MH mencoba nasibnya di jakarta *(...)”; bandingkan dengan  “born in new jersey may 4,1898, john paulson spent his boyhood in the east...”struktur-struktur tersebut  tadi dianggap sebagai serapan dari bahasa asing karenan masuk melalui terjemahan sedangkan dalam bahasa indonesia sturktur macam itu tadinya belum ada. Unusur serapan seperti itu disebut translationese, yakni unsur yanng masuk melalui terjemahan pada suatu bidang yang belum memiliki ragam tersendiri atau ragamnya yang sedang berkembang. Pada mulanya unsur seperti itu dianggap janggal dan tifak jaranng pula ditolak. Tetapi , tidak juga unsur serapan tertentu dianggap cocok dan kemudian diterima dalam ragam untuk bidang yanng bersangkutan. Gejala tersebut terjadi dalam bidang penulisan berita.
c.                   Hasil ciptaan penulisan berita
Dalam menulis berita, wartawan selalu dibayangi oleh kewajiban informasi untuk berhemat dengan kata dan menyampaikan informasi yang jelas. Tidak jarang wartawan menciptakan sendirir struktur kalimat  baru yang seperti halnya struktur  mahar mardjono yang rektor  muncu pertama kali dalam majalah tempo. Didorong  pula oleh kewajiban mengetengahkan prinsip 5w ( who, what, when, where, dan why ) dan 1H ( how ), setidak-tidaknya sebagaian dari formula itu pada pargraf pembuka, seorang wartawan terpaksa menciptakan kalimat yang banyak sisipannya, [16]

Macam-macam ragam Bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu berdasarkan media, berdasarkan cara pandang penutur dan berdasarkan topik pembicaraan.

1.      Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media
·         Ragam Lisan
Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur  di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.
Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis.  Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.

Ciri-ciri ragam lisan:
a.       Memerlukan orang kedua/teman bicara;
b.      Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu;
c.       Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh.
d.      Berlangsung cepat;
e.       Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu;
f.       Kesalahan dapat langsung dikoreksi;
g.      Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi.

Contoh ragam lisan adalah ‘Sudah saya baca buku itu.’
1.      Ragam Tulis
Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.

Ciri-ciri ragam tulis :
1.      Tidak memerlukan orang kedua/teman bicara;
2.      Tidak tergantung kondisi, situasi & ruang serta waktu;
3.      Harus memperhatikan unsur gramatikal;
4.      Berlangsung lambat;
5.      Selalu memakai alat bantu;
6.      Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi;
7.      Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya terbantu dengan tanda baca.

Contoh ragam tulis adalah ’Saya sudah membaca buku itu.’

Contoh perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis (berdasarkan tata bahasa dan kosa kata):

Ă›    Tata Bahasa
(Bentuk kata, Tata Bahasa, Struktur Kalimat, Kosa Kata)

a.        Ragam bahasa lisan:
-          Nia sedang baca surat kabar
-          Ari mau nulis surat
-          Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
-          Mereka tinggal di Menteng.
-          Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-          Saya akan tanyakan soal itu
b.      Ragam bahasa tulis:
-          Nia sedangmembaca surat kabar
-          Ari mau menulis surat
-          Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
-          Mereka bertempat tinggal di Menteng
-          Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-          Akan saya tanyakan soal itu.

Ă›    Kosa kata
Contoh ragam lisan dan tulis berdasarkan kosa kata:
a.        Ragam Lisan
-          Ariani bilang kalau kita harus belajar
-          Kita harus bikin karya tulis
-          Rasanya masih terlalu pagi buat saya, Pak

b.       Ragam Tulis
-          Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar
-          Kita harus membuat karya tulis.
-          Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak.

Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar, semi standar dan nonstandar. Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modern. Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan berdasarkan:
a.       Topik yang sedang dibahas,
b.      Hubungan antarpembicara,
c.       Medium yang digunakan,
d.      Lingkungan, atau
e.       Situasi saat pembicaraan terjadi

Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandard adalah sebagai berikut:
·         Penggunaan kata sapaan dan kata ganti,
·         Penggunaan kata tertentu,
·         Penggunaan imbuhan,
·         Penggunaan kata sambung (konjungsi), dan
·         Penggunaan fungsi yang lengkap.

Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue.
Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.
Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.
Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya, pĂ«mbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.

2.      Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan cara pandang penutur
Berdasarkan cara pandang penutur, ragam bahasa Indonesia terdiri dari ragam dialek, ragam terpelajar, ragam resmi dan ragam tak resmi.
Contoh ragam dialek adalah ‘Gue udah baca itu buku.’
Contoh ragam terpelajar adalah ‘Saya sudah membaca buku itu.’
Contoh ragam resmi adalah ‘Saya sudah membaca buku itu.’
Contoh ragam tak resmi adalah ‘Saya sudah baca buku itu.’                

3.      Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan topik pembicaraan
Berdasarkan topik pembicaraan, ragam bahasa terdiri dari ragam bahasa ilmiah, ragam hukum, ragam bisnis, ragam agama, ragam sosial, ragam kedokteran dan ragam sastra.
Ciri-ciri ragam ilmiah:
1.      Bahasa Indonesia ragam baku;
2.      Penggunaan kalimat efektif;
3.      Menghindari bentuk bahasa yang bermakna ganda;
4.      Penggunaan kata dan istilah yang bermakna lugas dan menghindari pemakaian kata dan istilah yang bermakna kias;
5.      Menghindari penonjolan persona dengan tujuan menjaga objektivitas isi tulisan;
6.      Adanya keselarasan dan keruntutan antarproposisi dan antaralinea.

Contoh ragam bahasa berdasarkan topik pembicaraan:
  1. Dia dihukum karena melakukan tindak pidana. (ragam hukum)
  2. Setiap pembelian di atas nilai tertentu akan diberikan diskon.(ragam bisnis)
  3. Cerita itu menggunakan unsur flashback. (ragam sastra)
  4.  Anak itu menderita penyakit kuorsior. (ragam kedokteran)
  5. Penderita autis perlu mendapatkan bimbingan yang intensif. (ragam psikologi)
Ragam bahasa baku dapat berupa: ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis, ragam baku dan tidak baku, ragam baku tulis dan ragam baku lisan, dan ragam sosial dan ragam fungsional.

A.       Ragam Bahasa Lisan dan Tulis
Berdasarkan media atau sarana pemakainya, ragam bahasa dibedakan atas ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan. Ada yang mengatakan bahwa ragam bahasa tulis merupakan ragam bahasa lisan yang divisualkan atau dituliskan. Pendapat tersebut sesungguhnya ada benarnya tetapi tidak banyak salahnya karena tidak semua ragam bahasa lisan dapat dituliskan dan sebaliknya juga. Ada beberapa hal yang menjadi pembeda antara ragam bahasa tulis dan lisan misalnya : (1) ragam lisan memerlukan orang kedua sebagai lawan berbicara sedangkan tulis tidak harus, 2) fungsi gramatikal (subjek, predikst, objek) tidak selalu dinyatakan dalam ragam lisan karena memang dalam ragam ini penggunaan bahasa telah dibantu dengan situasi/konteks, mimik pembicara, gerakkan, pandangan dan lain sebagainya, sedangkan dalam ragam tulis hal tersebut tidak ada atau diperlukan fungsi gramatikal yang lebih lengkap agar lawan bicara (pembaca tulisan) dapat memahami informasi yang disampaikan dengan jelas dan benar, (3) ragam lisan sangat terikat pada ruang, waktu dan situasi dan kondisi, sedangkan ragam tulis tidak terikat, dan (4) ragam lisan dipengaruhi dengan panjang pendek dan tinggi rendah suara sedangkan ragam tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf kapital, huruf miring dll. Dengan demikian ragam tulis dan ragam lisan dapat didevinisikan sebagai berikut :


1.      Ragam bahasa lisan
Ragam lisan merupakan ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehingga situasi pengungkapan dapat membantu pemahaman. Bahasa lisan lebih ekspresif dimana mimik, intonasi dan gerak tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan.
2.      Ragam bahasa tulis
Ragam tulis merupakan ragam bahasa yang diungkapkan melalui media tulis, tidak terkait ruang dan waktu sehingga diperlukan kelengkapan struktur agar dapat dipahami dengan mudah dan benar. Ragam bahasa tulis memiliki kaidah yang baku dan teratur sperti tata cara penulisan (ejaan), tata bahasa, kosa kata, kalimat, dll. Dapat dikatakan ragam bahasa tulis menuntut kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketetapan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca.

B.       Ragam Baku dan Tidak Baku
Ragam baku merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagaian besar masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan nirma bahasa dalam penggunaannya. Sedangkan ragam tidak baku adalah ragam yang tidak  di lembagakan dan diakui oleh sebagaian besar masyarakat pemakainya.
Ragam bahasa baku memiliki sifat yaitu kemantapan dinamis, cendikia dan seragam. Kemanatapan diartikan sebagai kesesuaian dengan kaidah bahasa dan dinamis yaitu tidak kaku. Bersifat cendekia karena ragam baku dipakai pasa tempat-tempat resmi yang lebih sering terlibat di dalamnya adalah kaum terpelajar. Dan bersifat berseregam karena pada dasarnya pembakuan bahasa merupakan proses penyeragaman bahasa. Agar dapat di pakai dan di mengerti setiap orang pemakainya.
C.     Ragam Baku tulis dan Ragam Baku Lisan
         Dengan adanya dua jenis ragam baku diatas yaitu ragam tulis dan lisan, dan ragam baku dan tidak baku muncul sebuah ragam bahasa yang lain yaitu ragam baku tulis dan bakun lisan. Kedua ragam ini memiliki konsep yang sama dengan ragam bahasa diatas. Ragam baku tulis merupakan ragam yang dipakai dengan resmi dalam buki-buku pelajaran dan buku-buku  ilmiah. Ragam baku tulis berpedoman pada pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, pedoman umum pembentukan istilah, dan KBBI. Sedangkan ragam bahasa lisan adalah bagaimana menggunakan ragam bahasa baku seperti diatas dalam situasi lisan. Hal yang menentukan baik tidaknya ragam baku lisan seseorang adalah banyak sedikitnya dialek atau logat bahasa daerah pembicara. Jika bahasa yang digunakan atau logat yang digunakan masih sangat menunjukkan bahasa masih kurang baik.
D.    Ragam sosial dan Ragam Fungsional
       Kaidahnya didasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat . Ragam sosial membedakan penggunaan bahasa berdasarkan hubunagn orang misalnya berbahasa dengan keluarga, teman akrab atau teman sebaya, serta tingkat  statsus sosial orang yang menjadi lawan bicara. Ragam sosial ini juga berlaku pada ragam tulis dan ragam lisan. Sebagai contoh orang takkan sama dalam menyebut lawan bicara jika berbicara dengan teman dan dengan orang yang memiliki kedudukan tingkat sosial yang lebig tinggi. Pembicara dapat menyebut  “kamu” lawan bicara yang merupakan teman tetapi takkan melakukan itu jika berbicara dengan orang dengan status sosial yang lebih tinggi atau kepada orang tua. Ragam fungsional, sering juga disebut ragam profesional merupakan ragam bahasa yang  sebagai contoh yaitu adanya ragam keagamaan, ragam kedokteran, ragam teknologi dll. Kesemuaan ragam ini memiliki fungsi pada dunia mereka sendiri.
       Selanjutnya di sini kami menjelaskan beberapa contoh mengenai ragam bahasa selain ragam bahasa di atas yaitu diantaranya adalah Ragam Bahasa Minang.
a.       Ragam Bahasa Minang
        Setiap masyarakat bahasa galipnya tidak menggunakan satu jenis atau ragam bahasa saja. Masyarakat Bahasa Minang tidaklah merupakan kekecualian dalam hal ini. Kita mengetahui bahwa jumlah dialek kita banyak sekali, setiap negeri boleh dikatakan memiliki dialek tersendiri yang sedikit banyaknya terlihat berbeda dari dialek negeri tetangganya.
Perbedaan ragam itu tidak terbatas pada perbedaan ragam dialek saja. Seseorang yang normal tidak selalu menggunakan satu ragam atau satu dialek saja dalam segala urusannya yang memerlukan penggunaan bicara. Tempat bicara, suasana pembicaraan, topik pembicaraan, lawan bicara dan lain-lain sering memaksa si pembicara memilih salah satu ragam bahasa yang tepat. Kadang-kadang seorang pembicara Minang mengubah intonasi atau ucapan Bahasa Minangnya sebab dia merasa perubahan itu tepat untuk situasinya saat itu. Sebaliknya seorang pembicara mungkin saja dengan sengaja melanggar kebiasaan, dan ini demi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Orang yang berani melanggar kebiasaan itu tentu harus bersedia menerima konsekwensi dari perbuatannya itu. Ini menunjukkan bahwa seperti dalam masyarkat-mayarakat lain, masyarakat Minang mempunyai aturan bukan saja tentang Bahasa Minang tetapi tentang cara penggunaannya. Aturan ini dapat disebut aturan sosiolinguistik.
       Apabila kita mulai membuka mulut kita untuk berbicara, maka kita mau tak mau harus melakukan pilihan. Pilihan yang tersedia cukup banyak. Taruhlah umpamanya kita ingin menyatakan dalam Bahasa Minang bahwa Katik Danuri agak pandir orangnya, tak tahu membedakan mana yang akan mendatangkan keuntungan kepadanya dan mana yang akan merugikan, maka pilihan yang tersedia buat kita antara lain ialah:
Dek baliau iyo indak jaleh bana, nan ma nan lai ka mandatngkan kauntungan nan ma nan ka marugikan. Kok tanguak baliau tu iyo jarang bana. Ano indak tahu dilabo, urang tea, ongok.
Kok baban nan barek agiahkanlah ka inyo, capek dijujuangnyo tu.
Kok dipitih to indak deknyo do. Kok pitih indak sirah deknyo do.
Kok lai pandai manculiaknyo,
Gunuang Marapi tu lai ka diangkeknyo.
Si Katik tu iyo indak ka jadi urang do, indak tahu galeh nan ka balabo.
Si Katik a nan tahu nyo, sarupo nan bakaki ampek, agiah serumpuik sarajuik, alah tu mah.
Barangkali masih banyak lagi pilihan lain yang tersedia dalam perbendaharaan Bahasa Minang. Kita akan memilih satu yang kita anggap paling tepat. Lawan kita bicara akan dapat pula menilai pilihan kita itu dan akan memberikan reaksinya yang dianggap tepat pula.
            Bahasa Minang sangat kaya akan ragam bahasa dan pemakai Bahasa Minang yang sadar akan kekayaan ini dapat memanfaatkan bahasa ibunya itu untuk mencapai tujuan bicaranya. Seterusnya dia akan cepat pula arif dan tanggap bila mendengar lawan bicaranya menggunakan berbagai macam ragam bahasa. Seperti kata orang tua-tua, “Terkilat ikan dalam air, buat dia sudah tentu jantan betinanya”. Sebaliknya orang yang kemampuan bahasanya kurang, agak payahlah dia untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari kekayaan warisn ibunya itu.
            Mengkaji masalah yang berkenaan dengan berbagai ragam bahasa beserta penggunaannya dalam masyarakat dapat dinamakan kajian sosiolinguistik secara mikro. Kajian secara mikro ini supaya sahih tentulah harus didasarkan atas hasil penelitian lapangan yang lengkap dan mendalam, supaya kesimpulan-kesimpulan umum yang kita perbuat tidak menyesatkan kita.

Daftar pustaka

Anwar, khaidir. sosio-kultural masalah bahasa, (Yogayakarta: Gadjah Mada University  Press, 1995)
Amran Halim. Yahya B. Lumintaintang. Kongres bahasa indonesia III. ( jakarta: 1983 )
Effendi, S. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. (Jakarta:Pustaka Jaya. 1995)
Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Bahasa indonesia. I. 1973. (Jakarta: Yayasan Purna Usaha Utama)
http/www.google.com makalah ragam bahas...

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia di akses pada tanggal 24-03-2012 pukul 11:12
Zaman, saeful. www.Situs Bahasa.INFO, di akses pada tanggal 24-03-2012 pukul 11:18





[1] Drs.Umar Junus.SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA:JAKARTA.Penerbit Bhratara.1969.
Hal.43-51
[2] Yusuf Abdullah Puar.SETENGAH ABAD BAHASA INDONESIA:JAKARTA.IDAYUS.1980.
Hal. 321
1 departemen pendidikian dan kebudayaan. Bahasa indonesia. I. 1973.jakarta: yayasan purna usaha utama.
[4] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2003. Panduan Kongres Bahasa Indonesia VIII.
[5] http/www.google. makalah ragam bahas...
[6] Effendi, S. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. : Pustaka Jaya. 1995 Jakarta
[7] Amran halim. Yahya B.lumintaintang. kongres bahasa indonesia III, pusat pembinaan dan pengembanngan bahasa departemen pendidikan dan kebudayaan,( jakarta: 198 ) hal 357-359
[8]Amran Halim. Yahya B. Lumintaintang. Kongres bahasa indonesia III. ( jakarta: 1983 ) hal 361-364
[9] Kongres bahasa indonesia III. Pusat pembina dan pengembangan bahasa departemen pendidikan dan kebudayaan. (jakarta: 1983)hal 364-366
1 departemen pendidikian dan kebudayaan. Bahasa indonesia. I. 1973.jakarta: yayasan purna usaha utama.
[11] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2003. Panduan Kongres Bahasa Indonesia VIII.
[12] http/www.google. makalah ragam bahas...
[13] Effendi, S. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. : Pustaka Jaya. 1995 Jakarta
[14] Amran halim. Yahya B.lumintaintang. kongres bahasa indonesia III, pusat pembinaan dan pengembanngan bahasa departemen pendidikan dan kebudayaan,( jakarta: 198 ) hal 357-359
[15]Amran Halim. Yahya B. Lumintaintang. Kongres bahasa indonesia III. ( jakarta: 1983 ) hal 361-364
[16] Kongres bahasa indonesia III. Pusat pembina dan pengembangan bahasa departemen pendidikan dan kebudayaan. (jakarta: 1983)hal 364-366

History of Indonesian and Indonesian hearts various manifold